Gonjang-ganjing terus melonjaknya harga kedelai di pasaran, kini telah memenuhi headline di berbagai media dan perbincangan hangat ditengah masyarakat. Kedelai ini sendiri merupakan bahan baku tahu dan tempe yang notabennya merupakan salah satu makanan khas yang digemari seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Naiknya harga kedelai, turut berimbas pada naiknya biaya produksi pembuatan tahu dan tempe, yang kemudian menjadikan mahalnya kedua komoditas tersebut dan membuat permintaan dari konsumen pun menurun. Keadaan tersebutlah yang membuat para pengrajin tempe terancam gulung tikar.
Terus simultannya lonjakan harga kedelai dari tahun ke tahun ini dikarenakan terus didektenya kebijakan Pemerintah oleh mekanisme pasar. Hal ini dimulai sejak ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) antara Pemerintah Indonesia dengan IMF.
Salah satu hasil LoI adalah liberalisasi pertanian dan reformasi BULOG. Kesepakatan itu dituangkan dalam “Memorandum Kebijakan Ekonomi dan Keuangan” (Memorandum of Economic and Financial Policies), yang ditanda tangani Pemerintah Indonesia dengan IMF pada awal tahun 1998 (winarno, 2012).
Dibukanya kran liberalisasi itulah yang membuat arus impor pangan ke Indonesia semakin menguat. Hingga akhirnya terjadi ketergantungan yang begitu besar antara produksi pangan impor terhadap stabilitas pangan (mencakup kedelai). Akibatnya seperti sekarang ini, ketika nilai rupiah melemah maka biaya impor kedelai di pasaran pun menjadi melonjak tinggi. Apalagi ditambah fakta bahwa dari 2,5 juta- 2,7 juta ton kebutuhan kedelai nasional per tahun, produksi dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 1/3 nya atau sekitar 700.000 – 800.000 ton, sedangkan sisanya dipenuhi dengan cara Impor kedelai dari luar negeri (Kompas, 3/9/13).
Peran pemerintah yang seharusnya dapat melindungi masyarakatnya dari berbagai problematika yang menimpa, pun terkesan kelimpungan. Bingkai berfikir pragmatis nan jangka pendek terkesan lebih diutamakan oleh pemerintah, ketimbang merumuskan kebijakan jangka panjang demi mewujudkan kedaulatan pangan.
Seakan tidak mau belajar dari pengalaman, pemerintah sekali lagi berusaha menstabilkan harga dan pasokan kedelai melalui mekanisme pasar. Yaitu dengan memotong tarif bea masuk Impor dalam menyikapi melemahnya nilai rupiah ini, agar harga kedelai tidak terlalu melonjak tinggi. Solusi tersebut hanya sementara yang tidak menyelesaikan akar masalah dan hanya menguntungkan para importir.
Memang, didalam rezim liberal sekarang ini, logika pasar telah mengangkangi politik dan mengontrol kebijakan pemerintah. Ketika mekanisme pasar ini masih menjadi acuan utama, maka mimpi kedaulatan pangan hanyalah omong kosong semata.
Maka ada langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan kedaulatan pangan ini. Pertama, menata ulang Undang-undang serta kebijakan-kebijakan yang dirasa tidak memihak kehidupan ekonomi masyarakat (seperti LoI) untuk kemudian menciptakan UU yang pro-rakyat.
Kedua, menjadikan sektor pertanian sebagai sektor utama dalam pembangunan ekonomi. Salah satunya dengan Reformasi Agraria. Memberikan akses tanah kepada petani, memproteksi petani, subsidi pupuk, benih serta melakukan pendampingan terhadap para petani.
Dengan langkah-langkah seperti itulah, diharapkan cita-cita akan kedaulatan pangan dan swasembada pangan dapat menjadi kenyataan.
sumber : http://arifnovianto.wordpress.com
No comments :
Post a Comment